MAKNA TAK BERMAKNA
Karya: Wilt Mude
Nina
adalah sebuah nama yang indah dan muda diingat oleh siapapun, itulah namanya.
Namanya sudah sangat indah apalagi orangnya tentu sangatlah cantik, tubuhnya
gemulai kencang dan padat, rambutnya hitam lurus yang terurai panjang sampai di
bokong, matanya bulat, alisnya tebal, senyumnya sangat manis.
Ia berjalan mendekatiku ke pintu gudang, sembari menyapa
“Hai...kenalin aku Nina.” sambil menyodorkan tangannya. “Win.” balasku sambil
menjabat tangannnya. “Berhati-hatilah dalam bekerja, jika kamu membutuhkan
sesuatu kamu boleh menghubungiku.” Sambungnya. “Iya, terimakasih aku akan
menghubungimu jika aku membutuhkan.” Balasku. Ia pun bergegas pergi dan
meninggalkan aku di depan pintu gudang, dimana hari itu adalah hari pertama aku
masuk kerja dan aku pergi untuk mengeluarkan olie drum dari gudang itu.
Hari berganti hari aku pun mulai mengenal rekan-rekan
kerjaku satu persatu, terlebih adalah Nina yang menjadi teman terbaikku
sekaligus orang yang aku percayai dalam segala hal. Ia terlalu banyak
membantuku dalam pekerjaan, Ia pun memberiku dorongan dan semangat di saat aku
sedang menghadapi masalah. Ia adalah karyawan yang sangat dikagumi dalam hal
bekerja oleh Bos, karena kerja kerasnya Ia dipercayai sebagai Distributor
Unilever.
Pagi itu adalah pagi yang muram bagiku, tapi aku tetap
bekerja dan selalu tersenyum untuk menutupi sakitku. Di saat aku bertepatan
dengan Nina, tak terasa air mataku langsung mengalir. Ia pun memegang lenganku
sembari menarik masuk ke dalam gudang. “Ayo duduk, katanya.” Kami berdua duduk
di atas tumpukan 14 pak seng 0,30. Ia merangkul dan memelukku, “Ceritakan
padaku apa yang terjadi, mengapa engkau menangis?” Tak ada satu katapun keluar
dari mulutku kecuali membiarkan kepalaku bersandar di bahunya. “Sudahlah tak
usa bicara, aku mengerti apa yang ada di dalam hatimu, sebelum engkau
menceritakan aku sudah mengetahuinya terlebih dahulu.” Katanya sambil membelai
rambutku.
Kabar gembira kembali menghiasi wajah kami, Nina kini
dipersunting oleh kekasihnya. Malam itu adalah malam resepsi pernikahannya,
“Selamat yaa.” Kataku sambil mencium kedua pipinya. “Berjalan hati-hati awas
terantuk,” bisiknya sambil melirik high heelsku. Pesta perayaan malam itu
sangat indah karena rekan-rekan kerja mengisi acara dengan bernyanyi lagu
country road.
Pernikahannya baru seumur jagung, Nina mulai mengeluh
akan kondisi tubuhnnya. Aku berjalan menuju gudang, tidak sengaja aku melihat
lengannya diikat dan digantung di leher. “Kak Nina... tangannya kenapa, kok
diikat seperti itu?” Kataku. “Terasa sangat berat, makanya aku ikat seperti
ini.” Jawabnya. “Periksa ke dokter saja kak, biar tahu penyakit apa,” balasku
lagi. “Ah, tidak apa-apa, nanti juga sembuh” balasnya sambil tersenyum.
Penyakit itu menggerogoti tubuhnya dengan cepat sehingga
Nina tidak lagi kuasa menyembunyikan sakitnya, walaupun begitu tetapi
semangatnya untuk bekerja pantang menyerah. “Win... tolong ikut aku, ada yang
ingin aku perlihatkan sama kamu hari ini.” Katanya sambil memegang lenganku dan
menarik masuk dalam kamar mandi. “Sebelum aku mengatakan, kamu harus janji
dulu,” katanya memohon. “Ia aku janji,” jawabku dengan sungguh. Ia pun mulai
membuka bajunya, dan Ia memegang tanganku dan menaruh di payudaranya. “Lihat
Win...rasakan, inilah yang kuderita selama ini.” Katanya sambil menatapku. Aku
pun tak kuasa melihat kedua bola matanya tetapi aku mencoba untuk menahan
tangisku. “Kita ke rumah sakit saja kak, biar dokter tangani,” bujukku.
“Jangan...!” Katanya memotong pembicaraanku. “Atau tidak kita beritahu bos
saja, biar langsung dioperasi entah disini atau di Bali,” aku berusaha
melawannya. “Tidak, biar aku minum obat tradisoinal saja, nanti akan sembuh
juga.” Jawabnya dengan tidak mau mengalah. “Aku mohon tolong jangan beritahu
bos, aku takut nantinya setelah bos tahu tentang penyakitku, aku akan di PHK.
Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku.” Ia memelas padaku. “Kalau memang begitu
kita sebaiknya pergi berdoa kepada Tuhan bersama dengan Tim Doa biar sakitnya
lekas sembuh.” Balasku untuk menguatkannya. “Ia nanti kita pergi kalau ada
waktu,” Jawabnya. Kami pun keluar dari kamar mandi itu, aku berjalan dengan
seribu pertanyaan yang tak karuan. Hatiku hancur, aku pun pergi dan menangis.
Aku membayangkan saat tanganku menyentuh payudaranya yang begitu keras seperti
batu karang. Tak ada yang bisaku perbuat kecuali mendoakannya agar lekas
sembuh.
Tumor ganas itu terus menyerangnya, sepulang kerja aku
pun pergi menjenguk Nina ke rumahnya yang jaraknya sekitar 6km dari rumahku,
sesampai di rumahnya aku pun terkejut, Nina dikabarkan telah dibawa ke kampung
neneknya untuk berobat secara tradisional, hariku sepi tanpa Nina walaupun
rekan kerja banyak di tempat kerja. Tugas dan pekerjaan yang begitu memadai aku
pun tak sempat untuk pergi menjenguknya. Kerja mulai pukul 7.00 pagi dan pulang
jam 6.00 sore kadang sampai jam 7.00 malam. Sibuk dengan pekerjaan tapi rindu
ingin berjumpa dengan Nina.
Bekerja selama 6 hari, hari Minggu adalah hari istirahat
bagi karyawan karena hari minggu adalah hari untuk beribadah. Aku pun berniat
untuk mengunjungi Nina ke kampung neneknya, tapi di luar dugaan pada hari itu
aku dipanggil untuk masuk kerja oleh bos ku. Tidak bisa mengelak aku pun masuk
kerja namun aku benci akan hal itu. Resah perasaan buruk itu menghantuiku, aku
bingung ingin menangis namun karyawan lain yang masuk kerja bersamaku sedang
memperhatikan tingkahku. Aku pun diam tak mau berbicara, senyumpun tidak.
Keesokan harinya, “Win kamu ditanya sama Nina, aku
kemarin dari kampung neneknya. Aku menyuapinnya makanan dan memandikannya.”
Tutur Mini. “Kak Nina bilang apa?” tanyaku dengan nada sedih dan serba salah.
“Win mana...kok tidak pernah datang jenguk saya, semua rekan-rekan yang lain
sudah pada datang tinggal Dia sendiri yang belum pernah datang.” Begitu katanya
Nina tutur temanku Mini sembari menjelaskan. Hatiku seperti sedang diadili
karena sebuah kesalahan besar. “Betul Win, kamu yang begitu dekat dengan kak
Nina kok tidak pernah pergi untuk melihat keadaannya, tambah Dewi. Aku pun
menahan air mataku, aku pergi dan meninggal meja makan. Aku masuk ke kamar
pembantu untuk menumpahkan air mataku, aku pun tengkurap dan menutup kepalaku
dengan bantal. Sakit yang kurasa sungguh sangat sakit, aku merasakan betapa
sakitnya hati Nina ketika aku tidak pergi menjenguknya. Tapi semua itu tanpa kesengajaanku,
kini aku dinilai oleh rekan-rekanku telah mengkhianati persahabatan itu dengan
tidak peduli dengan sakit yang dialami oleh Nina.
Aku sedang berada di Gudang Bir Bremer tiba-tiba telepon
genggamku berdering, kumelihat panggilan masuk HP kantor. “Win...Win...pulang!”
terdengar suara parau, suara itu milik Tino rekan kerjaku. “Kenapa mesti pulang
aku belum selesai,” balasku. “Win...Nina Win....” tiba-tiba suara itu hilang.
Aku pun segera kembali ke kantor. Baru masuk di pintu “Winnnnnn...” teriak bos
ku dengan tangisnya. “Nina sudah meninggal...” tangisnya meledak serentak
dengan rekan-rekanku. Aku pun tak kuasa menahan tangisku segala macam kesalahan
kutuding pada diriku, semuanya telah terlambat. Kami pun pergi melayat, saatku
lihat wajahnya rasa bersalah pada diriku sungguh tidak bisa dimaafkan. Aku pun
menumpahkan tangisku di samping jasadnya. Sembariku memegang telapak kakinya,
tiba-tiba “Tidak usa munafik Win, mengapa engkau menangis? tidak usah kau
perjelaskan, kamu jahat...” teriak Nabila sambil membuang tanganku dari telapak
kaki Nina. Sungguh sakit yang kurasakan, aku dibenci oleh teman-temanku karena
dianggap aku adalah seorang pengkhianat. Malamnya kembali aku pergi melayat,
aku mencium jasadnya sebanyak 3kali lalu aku menutupnya dengan sarung adat
Sabu. Aku menatap wajahnya lalu berdiri di sudut ruangan itu.
Acara
pengebumianpun selesai, aku pulang dengan gundah gulana. Saat bekerjapun hatiku
tetap dikejar oleh rasa bersalah itu. “Oh Tuhan sampai kapan aku terlepas dari
rasa bersalah ini, sungguh aku sendiri pun tidak bisa memaafkan kesalahanku.
Pantas untukku jika aku dibenci oleh teman-temanku karena ini adalah kesalahan
besar yang telah aku perbuat dan tidak bisa merubahnya sampai kapanpun. Aku
sangat menyayanginya, aku berhutang budipadanya, aku sangat menyesal. Tuhan
ampuni aku, semoga arwahnya mengampuniku.
Emperor Casino Casino | Shootercasino
BalasHapusPlay the best games and win big! Play 1xbet korean all your favorite games from MegaWays, MegaWays and more! Join 메리트카지노 Now for FREE! 제왕카지노