Minggu, 01 November 2015

CERPEN : MAKNA TAK BERMAKNA

                MAKNA TAK BERMAKNA
                 Karya: Wilt Mude

            Nina adalah sebuah nama yang indah dan muda diingat oleh siapapun, itulah namanya. Namanya sudah sangat indah apalagi orangnya tentu sangatlah cantik, tubuhnya gemulai kencang dan padat, rambutnya hitam lurus yang terurai panjang sampai di bokong, matanya bulat, alisnya tebal, senyumnya sangat manis.
            Ia berjalan mendekatiku ke pintu gudang, sembari menyapa “Hai...kenalin aku Nina.” sambil menyodorkan tangannya. “Win.” balasku sambil menjabat tangannnya. “Berhati-hatilah dalam bekerja, jika kamu membutuhkan sesuatu kamu boleh menghubungiku.” Sambungnya. “Iya, terimakasih aku akan menghubungimu jika aku membutuhkan.” Balasku. Ia pun bergegas pergi dan meninggalkan aku di depan pintu gudang, dimana hari itu adalah hari pertama aku masuk kerja dan aku pergi untuk mengeluarkan olie drum dari gudang itu.
            Hari berganti hari aku pun mulai mengenal rekan-rekan kerjaku satu persatu, terlebih adalah Nina yang menjadi teman terbaikku sekaligus orang yang aku percayai dalam segala hal. Ia terlalu banyak membantuku dalam pekerjaan, Ia pun memberiku dorongan dan semangat di saat aku sedang menghadapi masalah. Ia adalah karyawan yang sangat dikagumi dalam hal bekerja oleh Bos, karena kerja kerasnya Ia dipercayai sebagai Distributor Unilever.
            Pagi itu adalah pagi yang muram bagiku, tapi aku tetap bekerja dan selalu tersenyum untuk menutupi sakitku. Di saat aku bertepatan dengan Nina, tak terasa air mataku langsung mengalir. Ia pun memegang lenganku sembari menarik masuk ke dalam gudang. “Ayo duduk, katanya.” Kami berdua duduk di atas tumpukan 14 pak seng 0,30. Ia merangkul dan memelukku, “Ceritakan padaku apa yang terjadi, mengapa engkau menangis?” Tak ada satu katapun keluar dari mulutku kecuali membiarkan kepalaku bersandar di bahunya. “Sudahlah tak usa bicara, aku mengerti apa yang ada di dalam hatimu, sebelum engkau menceritakan aku sudah mengetahuinya terlebih dahulu.” Katanya sambil membelai rambutku.
            Kabar gembira kembali menghiasi wajah kami, Nina kini dipersunting oleh kekasihnya. Malam itu adalah malam resepsi pernikahannya, “Selamat yaa.” Kataku sambil mencium kedua pipinya. “Berjalan hati-hati awas terantuk,” bisiknya sambil melirik high heelsku. Pesta perayaan malam itu sangat indah karena rekan-rekan kerja mengisi acara dengan bernyanyi lagu country road.
            Pernikahannya baru seumur jagung, Nina mulai mengeluh akan kondisi tubuhnnya. Aku berjalan menuju gudang, tidak sengaja aku melihat lengannya diikat dan digantung di leher. “Kak Nina... tangannya kenapa, kok diikat seperti itu?” Kataku. “Terasa sangat berat, makanya aku ikat seperti ini.” Jawabnya. “Periksa ke dokter saja kak, biar tahu penyakit apa,” balasku lagi. “Ah, tidak apa-apa, nanti juga sembuh” balasnya sambil tersenyum.
            Penyakit itu menggerogoti tubuhnya dengan cepat sehingga Nina tidak lagi kuasa menyembunyikan sakitnya, walaupun begitu tetapi semangatnya untuk bekerja pantang menyerah. “Win... tolong ikut aku, ada yang ingin aku perlihatkan sama kamu hari ini.” Katanya sambil memegang lenganku dan menarik masuk dalam kamar mandi. “Sebelum aku mengatakan, kamu harus janji dulu,” katanya memohon. “Ia aku janji,” jawabku dengan sungguh. Ia pun mulai membuka bajunya, dan Ia memegang tanganku dan menaruh di payudaranya. “Lihat Win...rasakan, inilah yang kuderita selama ini.” Katanya sambil menatapku. Aku pun tak kuasa melihat kedua bola matanya tetapi aku mencoba untuk menahan tangisku. “Kita ke rumah sakit saja kak, biar dokter tangani,” bujukku. “Jangan...!” Katanya memotong pembicaraanku. “Atau tidak kita beritahu bos saja, biar langsung dioperasi entah disini atau di Bali,” aku berusaha melawannya. “Tidak, biar aku minum obat tradisoinal saja, nanti akan sembuh juga.” Jawabnya dengan tidak mau mengalah. “Aku mohon tolong jangan beritahu bos, aku takut nantinya setelah bos tahu tentang penyakitku, aku akan di PHK. Aku tidak mau kehilangan pekerjaanku.” Ia memelas padaku. “Kalau memang begitu kita sebaiknya pergi berdoa kepada Tuhan bersama dengan Tim Doa biar sakitnya lekas sembuh.” Balasku untuk menguatkannya. “Ia nanti kita pergi kalau ada waktu,” Jawabnya. Kami pun keluar dari kamar mandi itu, aku berjalan dengan seribu pertanyaan yang tak karuan. Hatiku hancur, aku pun pergi dan menangis. Aku membayangkan saat tanganku menyentuh payudaranya yang begitu keras seperti batu karang. Tak ada yang bisaku perbuat kecuali mendoakannya agar lekas sembuh.
            Tumor ganas itu terus menyerangnya, sepulang kerja aku pun pergi menjenguk Nina ke rumahnya yang jaraknya sekitar 6km dari rumahku, sesampai di rumahnya aku pun terkejut, Nina dikabarkan telah dibawa ke kampung neneknya untuk berobat secara tradisional, hariku sepi tanpa Nina walaupun rekan kerja banyak di tempat kerja. Tugas dan pekerjaan yang begitu memadai aku pun tak sempat untuk pergi menjenguknya. Kerja mulai pukul 7.00 pagi dan pulang jam 6.00 sore kadang sampai jam 7.00 malam. Sibuk dengan pekerjaan tapi rindu ingin berjumpa dengan Nina.
            Bekerja selama 6 hari, hari Minggu adalah hari istirahat bagi karyawan karena hari minggu adalah hari untuk beribadah. Aku pun berniat untuk mengunjungi Nina ke kampung neneknya, tapi di luar dugaan pada hari itu aku dipanggil untuk masuk kerja oleh bos ku. Tidak bisa mengelak aku pun masuk kerja namun aku benci akan hal itu. Resah perasaan buruk itu menghantuiku, aku bingung ingin menangis namun karyawan lain yang masuk kerja bersamaku sedang memperhatikan tingkahku. Aku pun diam tak mau berbicara, senyumpun tidak.
            Keesokan harinya, “Win kamu ditanya sama Nina, aku kemarin dari kampung neneknya. Aku menyuapinnya makanan dan memandikannya.” Tutur Mini. “Kak Nina bilang apa?” tanyaku dengan nada sedih dan serba salah. “Win mana...kok tidak pernah datang jenguk saya, semua rekan-rekan yang lain sudah pada datang tinggal Dia sendiri yang belum pernah datang.” Begitu katanya Nina tutur temanku Mini sembari menjelaskan. Hatiku seperti sedang diadili karena sebuah kesalahan besar. “Betul Win, kamu yang begitu dekat dengan kak Nina kok tidak pernah pergi untuk melihat keadaannya, tambah Dewi. Aku pun menahan air mataku, aku pergi dan meninggal meja makan. Aku masuk ke kamar pembantu untuk menumpahkan air mataku, aku pun tengkurap dan menutup kepalaku dengan bantal. Sakit yang kurasa sungguh sangat sakit, aku merasakan betapa sakitnya hati Nina ketika aku tidak pergi menjenguknya. Tapi semua itu tanpa kesengajaanku, kini aku dinilai oleh rekan-rekanku telah mengkhianati persahabatan itu dengan tidak peduli dengan sakit yang dialami oleh Nina.
            Aku sedang berada di Gudang Bir Bremer tiba-tiba telepon genggamku berdering, kumelihat panggilan masuk HP kantor. “Win...Win...pulang!” terdengar suara parau, suara itu milik Tino rekan kerjaku. “Kenapa mesti pulang aku belum selesai,” balasku. “Win...Nina Win....” tiba-tiba suara itu hilang. Aku pun segera kembali ke kantor. Baru masuk di pintu “Winnnnnn...” teriak bos ku dengan tangisnya. “Nina sudah meninggal...” tangisnya meledak serentak dengan rekan-rekanku. Aku pun tak kuasa menahan tangisku segala macam kesalahan kutuding pada diriku, semuanya telah terlambat. Kami pun pergi melayat, saatku lihat wajahnya rasa bersalah pada diriku sungguh tidak bisa dimaafkan. Aku pun menumpahkan tangisku di samping jasadnya. Sembariku memegang telapak kakinya, tiba-tiba “Tidak usa munafik Win, mengapa engkau menangis? tidak usah kau perjelaskan, kamu jahat...” teriak Nabila sambil membuang tanganku dari telapak kaki Nina. Sungguh sakit yang kurasakan, aku dibenci oleh teman-temanku karena dianggap aku adalah seorang pengkhianat. Malamnya kembali aku pergi melayat, aku mencium jasadnya sebanyak 3kali lalu aku menutupnya dengan sarung adat Sabu. Aku menatap wajahnya lalu berdiri di sudut ruangan itu.
Acara pengebumianpun selesai, aku pulang dengan gundah gulana. Saat bekerjapun hatiku tetap dikejar oleh rasa bersalah itu. “Oh Tuhan sampai kapan aku terlepas dari rasa bersalah ini, sungguh aku sendiri pun tidak bisa memaafkan kesalahanku. Pantas untukku jika aku dibenci oleh teman-temanku karena ini adalah kesalahan besar yang telah aku perbuat dan tidak bisa merubahnya sampai kapanpun. Aku sangat menyayanginya, aku berhutang budipadanya, aku sangat menyesal. Tuhan ampuni aku, semoga arwahnya mengampuniku.


1 komentar:

  1. Emperor Casino Casino | Shootercasino
    Play the best games and win big! Play 1xbet korean all your favorite games from MegaWays, MegaWays and more! Join 메리트카지노 Now for FREE! 제왕카지노

    BalasHapus