CINTA
DAN HARGA DIRI
Karya : Wilt Mude
Suasana
hari itu sangat panas, sehingga membuat wanita setengah baya itu gerah dan
sangat melelahkan. Ia sibuk di dapur dengan memasak makanan untuk anak-anaknya.
Namun demikian Ia tak pernah mengeluh apalagi patah semangat. Semua makanan
telah selesai dimasak, Ia menyendok dan membawa ke ruang depan.
“Deri,
Ari...! ayo sayang kemari Ibu sudah selesai memasak, mari kita makan bersama.”
Panggil wanita itu kepada anak-anaknya. Kedua anaknya makan bersama dalam satu
piring, tanpa ada pertengkaran di antara mereka berdua. “Kenapa Ibu tidak makan
bersama dengan kami?” tanya Ari putera bungsunya yang berusia 5 tahun. “Ibu
tidak lapar sayang, Ibu masih kenyang. Sebentar kalau Ibu lapar, Ibu akan
makan.” Jawab ibu Rina. Air matapun keluar di pelupuk mata wanita itu, Ia tak
tega melihat kedua anaknya makan nasi jagung dengan rebusan daun bayam yang
diambilnya di pinggir pagar kebun milik tetangganya tadi pagi.
“Maafkanlah
diriku, semuanya terpaksa kulakukan itu demi dirimu dan anak-anak.” “Tapi kapan
kau akan kembali ..., kami sangat membutuhkan dirimu juga sangat merindukanmu.”
Wanita setengah baya itu membalas percakapan di telepon genggam miliknya. “Iya
sayang aku akan segera kembali jika sudah mendapatkan semuanya, aku juga sangat
merindukan dirimu bersama dengan anak-anak, aku ingin memeluk kalian bertiga,
aku mencintaimu, aku mencintai anak-anak, percayalah padaku.” Tutur lelaki di
balik telepon genggam itu. “Ibu Rina melepaskan telepon miliknya ke atas kasur
yang lusuh itu, air mata kembali di pelupuknya, seraya merebahkan tubuhnya
dengan seribu luka.
“Mana
laki-laki bajingan itu, mana? Katanya mau datang dan akan datang, itu jawaban
yang selalu kau berikan kepada Ayah, untuk menutupi kesalahan bajingan itu.”
Marah pak Markus kepada Rina yang adalah puteri tunggalnya. “Dimana harga
dirimu? Bajingan itu sudah menjual harga dirimu entah dengan harga yang mahal
atau murah, Ayah tidak tahu. Mungkin harganya sama dengan harga sayur di pasar
atau ampas yang membusuk di tong sampah.” Kemarahan pak Markus memuncak.
“Berani-beraninya Dia meninggalkan dirimu bersama kedua puteramu, bukankah itu
seorang pengkhianat?” kata Ayahnya dengan geram dan berlalu.
Ibu
Rina duduk dengan tubuh yang lemas, air mata kembali menemaninya. “Harga diri,”
gumamnya. Tiba-tiba jari yang lembut dan halus itu menyeka air matanya, Ibu
Rina mengangkat wajahnya dan ternyata jari lembut itu milik Deri putera
sulungnya yang berusia 7 tahun. “Ibu..., sudahlah Bu, Ibu jangan menangis.”
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut puteranya, tangis Ibu Rina pun
tiba-tiba menghujan. Deri memeluk Ibunya dan Ibu Rina pun mendekap puteranya
dengan erat. “Ibu... kenapa Kakek begitu marah kepada Ibu dan Ayah? Tanya
putera sulungnya. Ibu Rina pun mulai menceritakan semuanya kepada Deri, bahwa
Ayahnya pergi untuk mencari uang demi membayar mas kawin Ibunya yang telah
ditentukan oleh keluarga Ibunya, yang jumlahnya sangat mahal sesuai dengan adat
kebudayaan Kakeknya yaitu adat asli Sumba. Jika tidak membayar mas kawin, maka
Ayahnya tidak bisa menikah dengan Ibunya. Deri pun terdiam dan mengangguk
sambil berdiri lalu menyeka air mata Ibunya dengan baju usang yang
dikenakannya.
Tak
sengaja semua percakapan itu pun didengar oleh Ari, Ari pun bertanya-tanya
dengan ketidak pemahamannya. Mengapa Kakeknya marah-marah dan menanyakan kepada
Ibunya tentang laki-laki bajingan serta harga diri. Ari kembali bermain di
halaman itu dengan permainan miliknya yaitu sebuah mobil rakitan yang rangkanya
terbuat dari botol bimoli dengan rodanya terbuat dari sandal sky way yang
dipungut dari tong sampah, mobilan rakitan itu buatan kakaknya Deri.
Keesokan
harinya, Deri berangkat ke sekolah tinggallah Ari dan Ibunya di rumah. Ibu Rina
sibuk memasak dan mencuci pakian, sedangkan Ari keasyikan bermain di halaman
rumahnya di bawah pohon beringin yang rindang itu. ”Sayur-sayur...!
sayur-sayur...!” teriak pedagang kaki lima itu sambil mendorong gerobak
sayurnya. Ari pun meninggalkan mainannya dan berlari menuju pedagang itu.
Rupanya pedagang itu bukan orang baru di lingkungan itu. “Ibu Desi..., selain
sayur Ibu Desi jual apalagi?” Ari bertanya. “Ada ikan mujair, tahu-tempe dan
minyak kelapa” jawab Ibu Desi. “Oh iya Bu Desi, harga sayurnya berapa satu
ikat?” Ari kembali bertanya. “Satu ikatnya tujuh ribu rupiah sayang” balas Bu
Desi dengan senyum. “Selain menjual itu semua, apakah Ibu Desi menjual harga
diri?” Ari kembali bertanya dan menatap Ibu Desi dengan penuh harapan agar
menjawab pertanyaanya. Ibu Desi pun sangat terkejut dengan pertanyaan dari Ari,
Ibu Desi pun diam dan menatap Ari dengan penuh keheranan. “Ibu Desi, kenapa
tidak jawab? Ibu Desi ada jual harga diri juga atau tidak?” Ari kembali
mendesak Ibu Desi agar segera menjawab. “Tunggu sebentar!” Kata Ari sambil
berlari ke dalam rumahnya. Ari pun kembali dengan membawa sebuah benda di
tangannya. “Ibu Desi saya mau membeli harga diri itu, dan Ibu Desi boleh
membawa seluruh isi celengan saya, jumlahnya sangat banyak dan tidak sama
dengan harga sayur yang satu ikat itu.” Tutur Ari dengan sungguh sambil menatap
Ibu desi dengan tidak berkedip. Ibu Desi menjongkok sembari bertanya “Untuk apa
kau beli harga diri itu Nak?” “Ari mau beli untuk kembalikan harga diri Ibuku
yang telah diperdagangkan.” Ibu Desi merangkul anak kecil itu sambil menghapus
air matanya.
Suasana
hari itu sangat panas, sehingga membuat wanita setengah baya itu gerah dan
sangat melelahkan. Ia sibuk di dapur dengan memasak makanan untuk anak-anaknya.
Namun demikian Ia tak pernah mengeluh apalagi patah semangat. Semua makanan
telah selesai dimasak, Ia menyendok dan membawa ke ruang depan.
“Deri,
Ari...! ayo sayang kemari Ibu sudah selesai memasak, mari kita makan bersama.”
Panggil wanita itu kepada anak-anaknya. Kedua anaknya makan bersama dalam satu
piring, tanpa ada pertengkaran di antara mereka berdua. “Kenapa Ibu tidak makan
bersama dengan kami?” tanya Ari putera bungsunya yang berusia 5 tahun. “Ibu
tidak lapar sayang, Ibu masih kenyang. Sebentar kalau Ibu lapar, Ibu akan
makan.” Jawab ibu Rina. Air matapun keluar di pelupuk mata wanita itu, Ia tak
tega melihat kedua anaknya makan nasi jagung dengan rebusan daun bayam yang
diambilnya di pinggir pagar kebun milik tetangganya tadi pagi.
“Maafkanlah
diriku, semuanya terpaksa kulakukan itu demi dirimu dan anak-anak.” “Tapi kapan
kau akan kembali ..., kami sangat membutuhkan dirimu juga sangat merindukanmu.”
Wanita setengah baya itu membalas percakapan di telepon genggam miliknya. “Iya
sayang aku akan segera kembali jika sudah mendapatkan semuanya, aku juga sangat
merindukan dirimu bersama dengan anak-anak, aku ingin memeluk kalian bertiga,
aku mencintaimu, aku mencintai anak-anak, percayalah padaku.” Tutur lelaki di
balik telepon genggam itu. “Ibu Rina melepaskan telepon miliknya ke atas kasur
yang lusuh itu, air mata kembali di pelupuknya, seraya merebahkan tubuhnya
dengan seribu luka.
“Mana
laki-laki bajingan itu, mana? Katanya mau datang dan akan datang, itu jawaban
yang selalu kau berikan kepada Ayah, untuk menutupi kesalahan bajingan itu.”
Marah pak Markus kepada Rina yang adalah puteri tunggalnya. “Dimana harga
dirimu? Bajingan itu sudah menjual harga dirimu entah dengan harga yang mahal
atau murah, Ayah tidak tahu. Mungkin harganya sama dengan harga sayur di pasar
atau ampas yang membusuk di tong sampah.” Kemarahan pak Markus memuncak.
“Berani-beraninya Dia meninggalkan dirimu bersama kedua puteramu, bukankah itu
seorang pengkhianat?” kata Ayahnya dengan geram dan berlalu.
Ibu
Rina duduk dengan tubuh yang lemas, air mata kembali menemaninya. “Harga diri,”
gumamnya. Tiba-tiba jari yang lembut dan halus itu menyeka air matanya, Ibu
Rina mengangkat wajahnya dan ternyata jari lembut itu milik Deri putera
sulungnya yang berusia 7 tahun. “Ibu..., sudahlah Bu, Ibu jangan menangis.”
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut puteranya, tangis Ibu Rina pun
tiba-tiba menghujan. Deri memeluk Ibunya dan Ibu Rina pun mendekap puteranya
dengan erat. “Ibu... kenapa Kakek begitu marah kepada Ibu dan Ayah? Tanya
putera sulungnya. Ibu Rina pun mulai menceritakan semuanya kepada Deri, bahwa
Ayahnya pergi untuk mencari uang demi membayar mas kawin Ibunya yang telah
ditentukan oleh keluarga Ibunya, yang jumlahnya sangat mahal sesuai dengan adat
kebudayaan Kakeknya yaitu adat asli Sumba. Jika tidak membayar mas kawin, maka
Ayahnya tidak bisa menikah dengan Ibunya. Deri pun terdiam dan mengangguk
sambil berdiri lalu menyeka air mata Ibunya dengan baju usang yang
dikenakannya.
Tak
sengaja semua percakapan itu pun didengar oleh Ari, Ari pun bertanya-tanya
dengan ketidak pemahamannya. Mengapa Kakeknya marah-marah dan menanyakan kepada
Ibunya tentang laki-laki bajingan serta harga diri. Ari kembali bermain di
halaman itu dengan permainan miliknya yaitu sebuah mobil rakitan yang rangkanya
terbuat dari botol bimoli dengan rodanya terbuat dari sandal sky way yang
dipungut dari tong sampah, mobilan rakitan itu buatan kakaknya Deri.
Keesokan
harinya, Deri berangkat ke sekolah tinggallah Ari dan Ibunya di rumah. Ibu Rina
sibuk memasak dan mencuci pakian, sedangkan Ari keasyikan bermain di halaman
rumahnya di bawah pohon beringin yang rindang itu. ”Sayur-sayur...!
sayur-sayur...!” teriak pedagang kaki lima itu sambil mendorong gerobak
sayurnya. Ari pun meninggalkan mainannya dan berlari menuju pedagang itu.
Rupanya pedagang itu bukan orang baru di lingkungan itu. “Ibu Desi..., selain
sayur Ibu Desi jual apalagi?” Ari bertanya. “Ada ikan mujair, tahu-tempe dan
minyak kelapa” jawab Ibu Desi. “Oh iya Bu Desi, harga sayurnya berapa satu
ikat?” Ari kembali bertanya. “Satu ikatnya tujuh ribu rupiah sayang” balas Bu
Desi dengan senyum. “Selain menjual itu semua, apakah Ibu Desi menjual harga
diri?” Ari kembali bertanya dan menatap Ibu Desi dengan penuh harapan agar
menjawab pertanyaanya. Ibu Desi pun sangat terkejut dengan pertanyaan dari Ari,
Ibu Desi pun diam dan menatap Ari dengan penuh keheranan. “Ibu Desi, kenapa
tidak jawab? Ibu Desi ada jual harga diri juga atau tidak?” Ari kembali
mendesak Ibu Desi agar segera menjawab. “Tunggu sebentar!” Kata Ari sambil
berlari ke dalam rumahnya. Ari pun kembali dengan membawa sebuah benda di
tangannya. “Ibu Desi saya mau membeli harga diri itu, dan Ibu Desi boleh
membawa seluruh isi celengan saya, jumlahnya sangat banyak dan tidak sama
dengan harga sayur yang satu ikat itu.” Tutur Ari dengan sungguh sambil menatap
Ibu desi dengan tidak berkedip. Ibu Desi menjongkok sembari bertanya “Untuk apa
kau beli harga diri itu Nak?” “Ari mau beli untuk kembalikan harga diri Ibuku
yang telah diperdagangkan.” Ibu Desi merangkul anak kecil itu sambil menghapus
air matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar