Minggu, 01 November 2015

CERPEN : CINTA DAN HARGA DIRI

CINTA DAN HARGA DIRI
Karya : Wilt Mude 

Suasana hari itu sangat panas, sehingga membuat wanita setengah baya itu gerah dan sangat melelahkan. Ia sibuk di dapur dengan memasak makanan untuk anak-anaknya. Namun demikian Ia tak pernah mengeluh apalagi patah semangat. Semua makanan telah selesai dimasak, Ia menyendok dan membawa ke ruang depan.
“Deri, Ari...! ayo sayang kemari Ibu sudah selesai memasak, mari kita makan bersama.” Panggil wanita itu kepada anak-anaknya. Kedua anaknya makan bersama dalam satu piring, tanpa ada pertengkaran di antara mereka berdua. “Kenapa Ibu tidak makan bersama dengan kami?” tanya Ari putera bungsunya yang berusia 5 tahun. “Ibu tidak lapar sayang, Ibu masih kenyang. Sebentar kalau Ibu lapar, Ibu akan makan.” Jawab ibu Rina. Air matapun keluar di pelupuk mata wanita itu, Ia tak tega melihat kedua anaknya makan nasi jagung dengan rebusan daun bayam yang diambilnya di pinggir pagar kebun milik tetangganya tadi pagi.
“Maafkanlah diriku, semuanya terpaksa kulakukan itu demi dirimu dan anak-anak.” “Tapi kapan kau akan kembali ..., kami sangat membutuhkan dirimu juga sangat merindukanmu.” Wanita setengah baya itu membalas percakapan di telepon genggam miliknya. “Iya sayang aku akan segera kembali jika sudah mendapatkan semuanya, aku juga sangat merindukan dirimu bersama dengan anak-anak, aku ingin memeluk kalian bertiga, aku mencintaimu, aku mencintai anak-anak, percayalah padaku.” Tutur lelaki di balik telepon genggam itu. “Ibu Rina melepaskan telepon miliknya ke atas kasur yang lusuh itu, air mata kembali di pelupuknya, seraya merebahkan tubuhnya dengan seribu luka.
“Mana laki-laki bajingan itu, mana? Katanya mau datang dan akan datang, itu jawaban yang selalu kau berikan kepada Ayah, untuk menutupi kesalahan bajingan itu.” Marah pak Markus kepada Rina yang adalah puteri tunggalnya. “Dimana harga dirimu? Bajingan itu sudah menjual harga dirimu entah dengan harga yang mahal atau murah, Ayah tidak tahu. Mungkin harganya sama dengan harga sayur di pasar atau ampas yang membusuk di tong sampah.” Kemarahan pak Markus memuncak. “Berani-beraninya Dia meninggalkan dirimu bersama kedua puteramu, bukankah itu seorang pengkhianat?” kata Ayahnya dengan geram dan berlalu.
Ibu Rina duduk dengan tubuh yang lemas, air mata kembali menemaninya. “Harga diri,” gumamnya. Tiba-tiba jari yang lembut dan halus itu menyeka air matanya, Ibu Rina mengangkat wajahnya dan ternyata jari lembut itu milik Deri putera sulungnya yang berusia 7 tahun. “Ibu..., sudahlah Bu, Ibu jangan menangis.” Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut puteranya, tangis Ibu Rina pun tiba-tiba menghujan. Deri memeluk Ibunya dan Ibu Rina pun mendekap puteranya dengan erat. “Ibu... kenapa Kakek begitu marah kepada Ibu dan Ayah? Tanya putera sulungnya. Ibu Rina pun mulai menceritakan semuanya kepada Deri, bahwa Ayahnya pergi untuk mencari uang demi membayar mas kawin Ibunya yang telah ditentukan oleh keluarga Ibunya, yang jumlahnya sangat mahal sesuai dengan adat kebudayaan Kakeknya yaitu adat asli Sumba. Jika tidak membayar mas kawin, maka Ayahnya tidak bisa menikah dengan Ibunya. Deri pun terdiam dan mengangguk sambil berdiri lalu menyeka air mata Ibunya dengan baju usang yang dikenakannya.
Tak sengaja semua percakapan itu pun didengar oleh Ari, Ari pun bertanya-tanya dengan ketidak pemahamannya. Mengapa Kakeknya marah-marah dan menanyakan kepada Ibunya tentang laki-laki bajingan serta harga diri. Ari kembali bermain di halaman itu dengan permainan miliknya yaitu sebuah mobil rakitan yang rangkanya terbuat dari botol bimoli dengan rodanya terbuat dari sandal sky way yang dipungut dari tong sampah, mobilan rakitan itu buatan kakaknya Deri.
Keesokan harinya, Deri berangkat ke sekolah tinggallah Ari dan Ibunya di rumah. Ibu Rina sibuk memasak dan mencuci pakian, sedangkan Ari keasyikan bermain di halaman rumahnya di bawah pohon beringin yang rindang itu. ”Sayur-sayur...! sayur-sayur...!” teriak pedagang kaki lima itu sambil mendorong gerobak sayurnya. Ari pun meninggalkan mainannya dan berlari menuju pedagang itu. Rupanya pedagang itu bukan orang baru di lingkungan itu. “Ibu Desi..., selain sayur Ibu Desi jual apalagi?” Ari bertanya. “Ada ikan mujair, tahu-tempe dan minyak kelapa” jawab Ibu Desi. “Oh iya Bu Desi, harga sayurnya berapa satu ikat?” Ari kembali bertanya. “Satu ikatnya tujuh ribu rupiah sayang” balas Bu Desi dengan senyum. “Selain menjual itu semua, apakah Ibu Desi menjual harga diri?” Ari kembali bertanya dan menatap Ibu Desi dengan penuh harapan agar menjawab pertanyaanya. Ibu Desi pun sangat terkejut dengan pertanyaan dari Ari, Ibu Desi pun diam dan menatap Ari dengan penuh keheranan. “Ibu Desi, kenapa tidak jawab? Ibu Desi ada jual harga diri juga atau tidak?” Ari kembali mendesak Ibu Desi agar segera menjawab. “Tunggu sebentar!” Kata Ari sambil berlari ke dalam rumahnya. Ari pun kembali dengan membawa sebuah benda di tangannya. “Ibu Desi saya mau membeli harga diri itu, dan Ibu Desi boleh membawa seluruh isi celengan saya, jumlahnya sangat banyak dan tidak sama dengan harga sayur yang satu ikat itu.” Tutur Ari dengan sungguh sambil menatap Ibu desi dengan tidak berkedip. Ibu Desi menjongkok sembari bertanya “Untuk apa kau beli harga diri itu Nak?” “Ari mau beli untuk kembalikan harga diri Ibuku yang telah diperdagangkan.” Ibu Desi merangkul anak kecil itu sambil menghapus air matanya.
Suasana hari itu sangat panas, sehingga membuat wanita setengah baya itu gerah dan sangat melelahkan. Ia sibuk di dapur dengan memasak makanan untuk anak-anaknya. Namun demikian Ia tak pernah mengeluh apalagi patah semangat. Semua makanan telah selesai dimasak, Ia menyendok dan membawa ke ruang depan.
“Deri, Ari...! ayo sayang kemari Ibu sudah selesai memasak, mari kita makan bersama.” Panggil wanita itu kepada anak-anaknya. Kedua anaknya makan bersama dalam satu piring, tanpa ada pertengkaran di antara mereka berdua. “Kenapa Ibu tidak makan bersama dengan kami?” tanya Ari putera bungsunya yang berusia 5 tahun. “Ibu tidak lapar sayang, Ibu masih kenyang. Sebentar kalau Ibu lapar, Ibu akan makan.” Jawab ibu Rina. Air matapun keluar di pelupuk mata wanita itu, Ia tak tega melihat kedua anaknya makan nasi jagung dengan rebusan daun bayam yang diambilnya di pinggir pagar kebun milik tetangganya tadi pagi.
“Maafkanlah diriku, semuanya terpaksa kulakukan itu demi dirimu dan anak-anak.” “Tapi kapan kau akan kembali ..., kami sangat membutuhkan dirimu juga sangat merindukanmu.” Wanita setengah baya itu membalas percakapan di telepon genggam miliknya. “Iya sayang aku akan segera kembali jika sudah mendapatkan semuanya, aku juga sangat merindukan dirimu bersama dengan anak-anak, aku ingin memeluk kalian bertiga, aku mencintaimu, aku mencintai anak-anak, percayalah padaku.” Tutur lelaki di balik telepon genggam itu. “Ibu Rina melepaskan telepon miliknya ke atas kasur yang lusuh itu, air mata kembali di pelupuknya, seraya merebahkan tubuhnya dengan seribu luka.
“Mana laki-laki bajingan itu, mana? Katanya mau datang dan akan datang, itu jawaban yang selalu kau berikan kepada Ayah, untuk menutupi kesalahan bajingan itu.” Marah pak Markus kepada Rina yang adalah puteri tunggalnya. “Dimana harga dirimu? Bajingan itu sudah menjual harga dirimu entah dengan harga yang mahal atau murah, Ayah tidak tahu. Mungkin harganya sama dengan harga sayur di pasar atau ampas yang membusuk di tong sampah.” Kemarahan pak Markus memuncak. “Berani-beraninya Dia meninggalkan dirimu bersama kedua puteramu, bukankah itu seorang pengkhianat?” kata Ayahnya dengan geram dan berlalu.
Ibu Rina duduk dengan tubuh yang lemas, air mata kembali menemaninya. “Harga diri,” gumamnya. Tiba-tiba jari yang lembut dan halus itu menyeka air matanya, Ibu Rina mengangkat wajahnya dan ternyata jari lembut itu milik Deri putera sulungnya yang berusia 7 tahun. “Ibu..., sudahlah Bu, Ibu jangan menangis.” Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut puteranya, tangis Ibu Rina pun tiba-tiba menghujan. Deri memeluk Ibunya dan Ibu Rina pun mendekap puteranya dengan erat. “Ibu... kenapa Kakek begitu marah kepada Ibu dan Ayah? Tanya putera sulungnya. Ibu Rina pun mulai menceritakan semuanya kepada Deri, bahwa Ayahnya pergi untuk mencari uang demi membayar mas kawin Ibunya yang telah ditentukan oleh keluarga Ibunya, yang jumlahnya sangat mahal sesuai dengan adat kebudayaan Kakeknya yaitu adat asli Sumba. Jika tidak membayar mas kawin, maka Ayahnya tidak bisa menikah dengan Ibunya. Deri pun terdiam dan mengangguk sambil berdiri lalu menyeka air mata Ibunya dengan baju usang yang dikenakannya.
Tak sengaja semua percakapan itu pun didengar oleh Ari, Ari pun bertanya-tanya dengan ketidak pemahamannya. Mengapa Kakeknya marah-marah dan menanyakan kepada Ibunya tentang laki-laki bajingan serta harga diri. Ari kembali bermain di halaman itu dengan permainan miliknya yaitu sebuah mobil rakitan yang rangkanya terbuat dari botol bimoli dengan rodanya terbuat dari sandal sky way yang dipungut dari tong sampah, mobilan rakitan itu buatan kakaknya Deri.

Keesokan harinya, Deri berangkat ke sekolah tinggallah Ari dan Ibunya di rumah. Ibu Rina sibuk memasak dan mencuci pakian, sedangkan Ari keasyikan bermain di halaman rumahnya di bawah pohon beringin yang rindang itu. ”Sayur-sayur...! sayur-sayur...!” teriak pedagang kaki lima itu sambil mendorong gerobak sayurnya. Ari pun meninggalkan mainannya dan berlari menuju pedagang itu. Rupanya pedagang itu bukan orang baru di lingkungan itu. “Ibu Desi..., selain sayur Ibu Desi jual apalagi?” Ari bertanya. “Ada ikan mujair, tahu-tempe dan minyak kelapa” jawab Ibu Desi. “Oh iya Bu Desi, harga sayurnya berapa satu ikat?” Ari kembali bertanya. “Satu ikatnya tujuh ribu rupiah sayang” balas Bu Desi dengan senyum. “Selain menjual itu semua, apakah Ibu Desi menjual harga diri?” Ari kembali bertanya dan menatap Ibu Desi dengan penuh harapan agar menjawab pertanyaanya. Ibu Desi pun sangat terkejut dengan pertanyaan dari Ari, Ibu Desi pun diam dan menatap Ari dengan penuh keheranan. “Ibu Desi, kenapa tidak jawab? Ibu Desi ada jual harga diri juga atau tidak?” Ari kembali mendesak Ibu Desi agar segera menjawab. “Tunggu sebentar!” Kata Ari sambil berlari ke dalam rumahnya. Ari pun kembali dengan membawa sebuah benda di tangannya. “Ibu Desi saya mau membeli harga diri itu, dan Ibu Desi boleh membawa seluruh isi celengan saya, jumlahnya sangat banyak dan tidak sama dengan harga sayur yang satu ikat itu.” Tutur Ari dengan sungguh sambil menatap Ibu desi dengan tidak berkedip. Ibu Desi menjongkok sembari bertanya “Untuk apa kau beli harga diri itu Nak?” “Ari mau beli untuk kembalikan harga diri Ibuku yang telah diperdagangkan.” Ibu Desi merangkul anak kecil itu sambil menghapus air matanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar